Dalam demokrasi kritik merupakan suatu yang biasa dilakukan kepada
seseorang sebagai bentuk fungsi kontrol. Apalagi organisasi kemahasiswaan seperti IMM kota Ambon sebagai civil society, tentu menjadi suatu keharusan sejarah atas kiprahnya sebagai agen of change.
Namun, kritik harus memiliki basis argumentasi teoritis, data yang kuat, serta bebas dari intrik dan pragmatis yang justru merusak esensi kritik itu sendiri. Kritik harus konstruktif bagi proses pembangunan demi kemaslahatan masyarakat.
Namun, sungguh sangat di sayangkan kritik Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM kota Ambon) pada beberapa media online lokal di kota Ambon terhadap status Widya Pratiwi sebagai Ina Latu Maluki terlihat merupakan “logica fallacy” karena argumentasi kritiknya yang cendureng bias dan tanpa basis data yang memadai dan terkesan asal bunyi “Asbun”.
Bahkan berpotensial merendahkan “kemulian” IMM kota Ambon, sebagai Agen of control and agent of change, wadah mekarnya intelektual-intelektual progresif, bukan wadah mekar para intelektual “kacung”.
Sebagai kader IMM saya, melihat Logical Fallacy dalam kritik IMM kota Ambon, yang menjadikan “Posisi” sebagai basis pemberian gelar Ina Latu Maluku, kepada ibu Widya Pratiwi karena posisi beliau saat itu sebagau Isti Gubernur Maluku).
Jika argumentasi gelar adat karena “posisi” maka, mestinya istri bapak Gubernur Karel Albert Ralahalu dan bapak Said Assagaf, pasti mendapat gelar Ina Latu Maluku, karena suami mereka menjabat Gubernur Maluku saat itu.
Kedua, jika posisi sebagai basis pemberian gelar adat Ina Latu Maluku, maka otomatis pada saat pengukuhan Gubernur & Wakil Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa Abdullah Vanath sebagai Upu Latu dan Patti oleh Majelis Latupatti (14/5/2025) harus bersamaan dengan Ina Latu Maluku, sebagaimana logika yang di bangun IMM kota Ambon, tetapi kenapa itu tidak, padahal lembaga adat yang sama yang memberikan gelar adat terhadap Widya Pratiwi.
Dua fakta ini, menampar argumentasi teman-teman IMM Kota Ambon, karena klaim “Posisi” istri Gubernur sebagai keharusan pemberian gelar adat Ina Latu Maluku, tetapi faktanya kedua istri mantan Gubernur Provinsi Maluku tersebut, tidak di beri gelar adat Ina Latu Maluku.
Kritik IMM kota Ambon, terlihat tidak proposinal karena justru menapikan “Peran” ibu Widya Pratiwi, sebagai Duta Stunting Provinsi Maluku.Itulah yang menjadi “basis legitimasi” bagi majelis Latupati, memberikan gelar adat Ina Latu Maluku, kepada Widya Pratiwi.
Realitas Sosial Budaya, Masyarakat Maluku, pemberian gelar adat, tidak hanya soal posisi semata, tetapi juga karena “Peran” dan Kontribusi seseorang bagi proses pembangunan di provinsi Maluku.
Majelis Latu Patti, sebagai institusi sosial yang meruapakan konsensus cultural, secara cultural telah mendapat legitimasi cultural masyarakat Maluku, sebagai instrumen yang berhak atas pemberian gelar adat.
Beberapa bukti pemberian gelar adat kepada para tokoh masyarakat oleh Majelis Latupatti Maluku, atas PERAN & KONTRIBUSI terhadap Pembangunan Maluku, seperti Pemberian gelar Ina Latu Maluku kepada Ibu Megawati Soekarno Putri dan bapak Jusuf Kalla (JK) dianugerahi gelar adat “Upu Latu Mel” atau Kepala Adat dan Raja Maluku serta beberapa tokoh masyarakat.
Pemberian gelar adat tertinggi tersebut didasari peran dan jasa pak JK mendamaikan masyarakat Maluku yang terlibat konflik sosial bernuanasa SARA sejak 1999 dengan puncak ditanda tanganinya “Perjanjian Malino” oleh faksi-faksi yang bertikai pada 12 Pebruari 2002.
Data dan fakta, ini sejalan dengan argumentasi teman-teman IMM Kota Ambon yang dalam opini mereka, mengakui bahwa dalam struktur sosial masyarakat Maluku, adat merupakan landasan kultural yang tidak hanya mengatur relasi sosial, tetapi juga menjadi sumber legitimasi simbolik yang sakral.
Gelar adat seperti Ina Latu Maluku bukan sekadar gelar kehormatan, tetapi merupakan simbol pengakuan kolektif terhadap seseorang yang telah menunjukkan dedikasi, pengabdian, dan peran substantif dalam menjaga nilai-nilai kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat adat.
Jika logika seperti di atas, maka pemberian gelar Ina Latu Maluku, kepada Widya Pratiwi, bukan karena Posisi atau istri Gubernur Maluku saat itu, tetapi lebih karena Peran yang di tunjukan dengan Dedikasi, Pengabdian dan Ketulusaan untuk menebarkan Kebermanfaatan bagi masyarakat Maluku, khususnya penanganan Stunting di provinsi Maluku.
Wujud pengabdian Widya Pratiwi sebagai Duta Stunting provinsi Maluku, benar-benar di lakukan dengan penuh dedikasi dan ketulusan. Hal ini tercermin dari massifnya ibu Widya Pratiwi melaksanakan kegiatan² yang berkaitan dengan penurunan Stunting dan Parenting di provinsi Maluku.
Peran sebagai Duta Stunting dan Parenting provinsi Maluku, yang diemban tersebut, dilaksanakan dengan Dedikasi yang tinggi. Fakta dedikasi dan pengabdian sebagai duta Stunting dan Parenting provinsi Maluku, terlihat dari Komitmen mengkonsolidasikan semua stekholder untuk secara bersama-sama berkomitmen mencegah dan menurunkan Stunting di provinsi Maluku.
Komitmen akan Dedikasi Pengabdian itu yang menjadi spirit untuk menerobos tantangan geografis provinsi Maluku, yang berbasis pulau-pulau yang tentu sangat berbahaya karena menyeberangi lautan dengan kondisi alam yang keras seperti gelombang, berupa tingginya gelombang, keras tiupan angin dataran yang serta daerah- daerah yang terisolir di tengah keterbatasan sarana prasarana untuk menjangkau desa-desa di provinsi Maluku.
Realitas itu, merupakan fakta bahwa Widya Pratiwi sangat berposisi sebagai istri Gubernur Maluku, mendedikaskan dirinya untuk kemaslahatan masyarakat Maluku dengan tidak hanya berada di zona nyaman kekuasaan seperti istri pejabat yang lebih menikmati previlegge kekuasaan sebagai sebagai pejabat semata.
Geografis Provinsi Maluku, sebagai Provinsi Kepulauan tidak dapat di pungkiri bahwa kondisi tersebut, menjadi momok yang menakutkan istri-pejabat di Maluku, yang justru menikmati “zona nyaman” alias “duduk manis” di kota Ambon, menikmati fasilitas dan pelayan sebagai nyonya orang nomor 1 di provinsi Maluku.
Widya Pratiwi, memainkan Peran yang relevan dengan gelar Inalatu Maluku, karena beliau tidak “duduk manis” tetapi justru menujukan Komitmen “Keibuan” masyarakat Maluku, itulah spirit dan komitmen beliau untuk menebarkan senyum bahagia bagi anak-anak yang merupakan generasi emas provinsi Maluku ke depan.
Jika, banyak istri-istri pejabat “orang Maluku” yang sejak tumbuh dalam cultur dan realitas kepulauan seolah-olah melupakan basis eksistensinya sebagai anak maluku yang mengklaim “tangguh” karena tumbuh dalam keras deburan gelombang dan kencang tiupan angin, malah berpura-pura “lebay” bahkan terkesan abunawas hanya karena ketidakmampuan memainkan peran “KeIbuan” sebagai lalu bersembunyi di bawah ketiak kekuasaan karena relasi kekeluargaan.
Dalam memori kolektif masyarakat Maluku, tidak ada istri Gubernur Provinsi Maluku, yang massif mengjangkau desa-desa dan daerah-daerah seperti Widya Pratiwi baik dalam “Posisi” maupun Peran”.
Sehingga sangat Relevan pemberian gelar Ina Latu Maluku kepada Ibu Widya Pratiwi, sebab Ibu Widya Pratiwi, mampu menjadikan Social Capitalnya (posisi) sebagai istri gubernur menjadi Social movent (Peran) secara maksimal untuk Kemaslahatan masyarakat Maluku khususnya anak-anak Maluku.Dedikasi dan Pengabdian itulah yang sesungguhnya menjadi dasar pijakkan majelis latupatti Maluku, memberikan gelar adat Ina Latu Maluku kepada Ibu Widya Pratiwi.
Jadi Kritik, IMM kota Ambon, terkesan prematur bias data dan tanpa basis argumentasi yang relevan. (*)